<<<>>>
“Tidaklah ada suatu perkara yang Allah perintahkan melainkan setan menebarkan dua jaring jeratnya, yaitu berupa sikap meremehkan dalam menjalankan perintah tersebut (tafrith) dan sikap berlebih-lebihan padanya (ifroth). Padahal agama yang Allah turunkan adalah agama pertengahan.” (Madarijus Salikin, 2/496).
Sikap toleransi beragama terbagi menjadi 3:
– Berlebihan : ikut merayakan hari raya agama lain, mengucapkan selamat atasnya, beratribut agama lain, mengatakan semua agama sama
– Meremehkan : membuat keributan dan menzalimi pemeluk agama lain
– Proporsional : hidup damai dengan pemeluk agama lain dibarengi dengan sikap berlepas diri dari kepercayaan dan praktik keagamaan mereka
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian...’.” (Q.S. Al-Mumtahanah : 4).
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negerimu…” (Q.S. Al-Mumtaḥanah: 8–9).
*Baca juga Buletin At-Tauhid 1717 tentang pengamalan prinsip al-wala’ dan al-bara’: bit.ly/bted1717
<<<>>>
Sebagaimana kata Ibnul Qoyyim, berbagai penyimpangan di dalam agama Islam bisa digolongkan menjadi dua, yaitu ifroth (karena adanya sikap berlebih-lebihan) dan tafrith (karena adanya sikap meremehkan). Ibnul Qoyyim berkata, “Tidaklah ada suatu perkara yang Allah perintahkan melainkan setan menebarkan dua jaring jeratnya, yaitu berupa sikap meremehkan dalam menjalankan perintah tersebut (tafrith) dan sikap berlebih-lebihan padanya (ifroth). Padahal agama yang Allah turunkan adalah agama pertengahan.” (Madarijus Salikin, 2/496).
Maka demikian pula halnya terkait toleransi di dalam Islam yang selalu hangat dibahas jelang hari raya Natal. Sebagian kaum muslimin ada yang terjerumus ke dalam sikap ifroth (berlebih-lebihan) dalam bertoleransi sehingga rela menggadaikan akidahnya, sementara yang lain lagi ada yang meremehkan ajaran toleransi dalam Islam sehingga tidak memenuhi hak-hak nonmuslim. Padahal, sikap yang semestinya dimiliki oleh seorang muslim adalah sikap yang pertengahan (wasath).
Buletin kali ini akan mengajak pembaca untuk melihat bagaimana sikap ifroth, tafrith, dan sikap pertengahan terkait konsep toleransi dalam agama Islam.
Ifroth (berlebih-lebihan) dalam toleransi
Akar dari sikap ifroth dalam toleransi adalah karena tidak adanya pemahaman dan pengamalan prinsip al-wala’ dan al-bara’ (loyalitas) (silakan lihat buletin At Tauhid edisi 17 tahun 17 untuk pembahasan pengamalan prinsip al-wala’ dan al-bara’ *). Padahal di dalam prinsip al-wala’ dan al-bara’, seorang muslim diharuskan untuk membenci kekafiran dan para pelakunya, termasuk juga hari raya mereka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (diri Nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata.’.” (Q.S. Al-Mumtahanah : 4).
Sikap ifroth yang paling ekstrim di dalam toleransi antar agama adalah dengan mengatakan semua agama sama saja, selama agama tersebut sama-sama mengajak kepada kebaikan dan kedamaian. Sikap seperti ini jelas sekali menentang apa yang telah Allah katakan (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam” (Q.S. Ali Imran: 19).
Di antara sikap ifroth yang banyak didapati di zaman ini adalah ikut merayakan hari raya agama lain, baik dalam bentuk hadir ataupun mengucapkan selamat atas hari raya tersebut. Sikap seperti ini juga teranggap melampaui batas di dalam toleransi di dalam agama Islam karena sikap tersebut sama saja dengan sikap ridha terhadap perbuatan kekufuran. Terdapat riwayat yang sangat jelas di dalam pelarangan hal ini yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih dari sahabat Umar bin Khattab. Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian masuk pada nonmuslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka, karena saat itu sedang turun murka Allah.”.
Termasuk pula sikap ifroth adalah menggunakan atribut-atribut tertentu yang itu merupakan ciri bagi agama lain dan ciri bagi hari raya mereka, seperti penggunaan pakaian atau topi dengan model tertentu.
Tafrith (meremehkan) ajaran toleransi
Sebaliknya, ada pula sebagian kaum muslimin yang memiliki sikap tafrith dalam hal toleransi. Sikap seperti ini bisa muncul karena adanya pemahaman yang keliru terhadap pengaplikasian prinsip al-wala’ dan al-bara’, sehingga kebencian yang diberikan kepada kekafiran dan para pelakunya tidaklah seperti yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Membeci kekafiran dan para pelakunya tidak berarti harus membuat keributan dan teror kepada mereka. Bahkan sikap damailah yang seharusnya dikedepankan, sebagaiman firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 61).
Membenci kekafiran dan pelakunya tidak pula berarti boleh menzalimi, menyakiti, atau bahkan membunuh mereka, termasuk ketika mereka merayakan hari rayanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtaḥanah: 8–9).
Sikap wasath (proporsional)
Prinsip utama sikap wasath (proporsional) dalam hal toleransi tertuang dalam surah Al-Kafirun, di mana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 6).
Mengenai tafsir ayat tersebut yang relevan dengan pembahasan buletin ini adalah apa yang dijelaskan di dalam Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir berikut, “Dalam kedua kalimat di atas (yaitu Al-Kafirun: 6), telah jelas didahulukan musnad (lakum/liya) atas musnad ilaihnya (diinukum/diin) untuk menegaskan pembatasan, sehingga maknanya adalah agama kalian hanya terbatas untuk kalian, tidak melampaui kalian sehingga menjadi milikku. Agamaku juga terbatas untukku, tidak melampauiku sehingga menjadi milikmu.”
Dengan demikian, wujud sikap pertengahan di dalam bertoleransi terhadap agama lain adalah dengan menghargai keberadaan agama lain dan para pemeluknya, tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam, tidak mengganggu mereka untuk menjalankan agamanya, termasuk di dalam mereka berhari raya. Sikap-sikap tersebut harus dibarengi dengan sikap berlepas diri dari kepercayaan mereka dan praktik keagamaannya. Mengakui dan menghormati keberaadaan agama lain, termasuk hari rayanya, tidak bararti kita harus meyakini kebenaran agama lain dan ikut dalam ritual keagamaan mereka.
Ibnul Jauzi ketika menafsirkan Q.S. Al Mumtaḥanah: 8 di atas mengatakan, “Ayat ini merupakan keringanan tentang bolehnya menyambung tali kerabat terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin dan bolehnya berbuat baik kepada mereka sekalipun loyalitas (saling mencintai) terputus dari mereka.”.
Sikap terkait hari raya Natal
Berdasarkan penjelasan di atas, sikap yang proporsional ketika umat Nasrani merayakan hari raya Natal, di satu sisi, adalah dengan menghormati mereka ketika menjalankan hari rayanya serta tidak boleh mengganggu, mengusik, dan menyakiti mereka. Di sisi lainnya, tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat natal, ikut hadir merayakan, atau pun menggunakan atribut-atribut yang merupakan ciri dari perayaan Natal semisal topi santa. Sebagaimana kita menghormati perayaan hari raya umat Nasrani, kita yakin mereka pun akan menghormati kepercayaan kita sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jika kita telah mampu untuk saling menghormati dalam koridor yang demikian, maka itulah toleransi yang sesungguhnya.
*Link download Buletin At-Tauhid edisi 1717 mengenai pengamalan prinsip al-wala’ dan al-bara’: bit.ly/bted1717
Penulis : Muhammad Rezki Hr, Ph.D. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Murajaah Ustaz Abu Salman, B.I.S.